Jangan Tertipu dengan Gelar Ustadz!

Ustadz adalah sebuah profesi. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ustadz berarti “guru”, yakni profesi mulia yang mengajarkan ilmu kepada orang lain. Begitu mulianya pekerjaan ini, hingga banyak yang menyebutnya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Meski secara makna memiliki arti yang sama, dalam pandangan banyak masyarakat Indonesia, guru dan ustadz bukanlah sosok yang identik. Seorang ustadz sering dipandang lebih mulia dibandingkan guru. Hal ini disebabkan karena ustadz kerap diidentikkan dengan sosok juru dakwah atau orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang urusan agama.

Bagi seorang juru dakwah atau penuntut ilmu agama yang ikhlas, pandangan masyarakat seperti ini harus disikapi dengan bijak dan penuh kerendahhatian. Sebab jika tidak, ia bisa menjadi sebab rusaknya ketulusan niat dalam berdakwah dan menuntut ilmu agama. Ia bisa memunculkan sikap sombong dan merasa diri lebih baik daripada orang lain yang tidak menjalani aktivitas serupa.

Seorang juru dakwah atau penuntut ilmu yang tertipu oleh gelar “ustadz” akan merasa dirinya sangat dibutuhkan oleh umat dan dakwah. Padahal, tidak sedikitpun dakwah Islamiyah atau masyarakat akan merugi jika kehilangan orang dengan karakter seperti itu.

Orang yang tertipu dengan gelar ustadz cenderung gemar menampilkan keluasan ilmu dan kecakapan lisannya. Ia kerap mengucapkan kata-kata indah di hadapan orang lain, namun kenyataannya bertolak belakang saat ia berada dalam kesendirian. Demi menjaga reputasi, ia tak segan menjawab setiap pertanyaan, meskipun ia tidak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut. Ia akan tersinggung jika seseorang memanggilnya tanpa gelar “ustadz”, namun akan segera menyahut jika dipanggil dengan gelar tersebut.

Ia pun mengisi hari-harinya dengan kesombongan dan keangkuhan. Ia tidak suka dinasihati oleh orang yang dianggap lebih rendah darinya. Jika ditegur atas kesalahannya, ia segera mencari-cari alasan dan berdebat untuk membenarkan diri. Sebaliknya, jika ada orang lain yang bersalah, ia menegurnya seolah-olah ia tak pernah berbuat dosa, bahkan dengan cara yang bisa membuat hati orang lain patah dan kecewa.

Ia juga sangat senang ketika dipuji. Ia menganggap pujian itu sebagai bentuk kejujuran, padahal sungguh ia layak merasa malu kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang ketika dipuji segera berdoa:

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ، وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ، وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Artinya:
“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui tentang diriku daripada aku sendiri, dan aku lebih mengetahui tentang diriku dibanding mereka. Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang tidak mereka ketahui dariku, dan janganlah Engkau menghukumku atas apa yang mereka katakan.”
—(HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4:228, no. 4876. Lihat juga Jaami’ul Ahadits oleh Jalaluddin As-Suyuthi, 25:145, Asy-Syamilah)


Wahai kader dakwah! Wahai penuntut ilmu agama!
Jangan tertipu dengan gelar ustadz. Rendahkanlah hati, dan luruskanlah orientasi.

Muhammad bin Wasi’, seorang laki-laki shalih sezaman dengan Imam Hasan Al-Bashri, pernah berkata:

“Jika nama orang-orang shalih disebut, maka aku adalah orang yang terasing.”

Tawaduklah! Ikhlaslah! Dan jangan tertipu dengan gelar serta popularitas!

Sebagaimana pesan Dr. ‘Aidh Al-Qarni:

“Orang yang suka dengan popularitas adalah orang yang belum merasakan manisnya ketaatan kepada Allah Ta‘ala.”

Oleh: M.Syukron Muchtar

Disadur dari artikel KAMMI LIPIA yang dirilis pada November 2013

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top