Jika Esok KAMMI Dibubarkan

Para orientalis sering menggambarkan Islam sebagai agama militan. Pandangan ini cenderung tendensius dan tidak objektif. Misalnya, Daniel Pipes mengatakan bahwa sejak awal kemunculannya, Islam langsung terlibat dalam urusan militer dan politik. Ia menilai inilah yang membedakan Islam dari agama-agama samawi lain seperti Yahudi dan Kristen, serta menjadi alasan ajaran Islam bertahan lama.

Max Weber, dalam History of Religion: A Sketch of Primitive Religious Belief and Practise, menyebut Islam sebagai “agama para pejuang”, yang dijaga oleh komunitas dengan semangat militer.

Pandangan serupa diungkapkan Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations. Ia menyatakan bahwa setelah runtuhnya komunisme, Islam menjadi ancaman utama bagi dunia Barat karena ideologi jihad-nya yang terus bertahan lintas generasi.

Namun, apakah benar jihad dalam Islam hanya soal perang dan kekerasan? Bagaimana sebenarnya makna jihad yang sejati?

Jihad memang memiliki posisi penting dalam ajaran Islam. Namun, maknanya bukan sekadar mengangkat senjata atau menciptakan kerusakan. Jihad berarti perjuangan sungguh-sungguh di jalan Allah — baik melalui lisan, tenaga, harta, maupun jiwa.

Sejarah membuktikan bahwa peperangan yang terjadi di masa Rasulullah ﷺ sangat terbatas jumlahnya. Korban perang pun jauh lebih sedikit dibandingkan perang-perang besar yang dilakukan kekaisaran Romawi atau kerajaan Barat demi menyebarkan agama atau kekuasaan.

Bahkan bila dibandingkan dengan jumlah korban Perang Dunia I dan II yang dipicu negara-negara Barat, jihad dalam Islam terlihat jauh lebih beradab dan terukur. Apalagi jika kita menilik invasi modern seperti di Afghanistan dan Irak, atau genosida di Amerika, Australia, dan Afrika Selatan.

Islam melarang keras pembunuhan terhadap wanita, anak-anak, orang tua, bahkan melarang merusak pohon dan lingkungan dalam peperangan. Artinya, jihad dalam Islam bukan untuk menghancurkan, melainkan menjaga: menjaga jiwa, menjaga kehormatan, dan menjaga tatanan kehidupan.

Jika kita menyepakati bahwa jihad adalah bagian penting dari Islam, maka setiap Muslim sesungguhnya adalah seorang pejuang. Namun, bukan berarti semua harus memanggul senjata. Jihad dapat diwujudkan dalam bentuk ibadah yang konsisten, dakwah yang penuh semangat, atau pengorbanan dalam kehidupan sehari-hari.

Ruh jihad adalah semangat untuk bersungguh-sungguh. Ia membakar jiwa untuk terus berbuat kebaikan dan memperjuangkan nilai-nilai Islam — di manapun dan dalam keadaan apapun.


KAMMI dan Jalan Panjang Dakwah Islam

Jika suatu saat KAMMI dibubarkan, kami — para kader dan mantan pengurusnya — akan tetap berjalan dalam barisan dakwah Islam. Sebab nilai-nilai perjuangan tidak akan pernah padam hanya karena satu wadah hilang.

Jika esok KAMMI dibekukan, semangat yang dulu pernah kami kobarkan di medan aksi akan tetap menyala. Kami akan terus menyebarkan nilai Islam dalam kehidupan masyarakat, karena dakwah bukan milik satu organisasi, melainkan amanah setiap Muslim.

Kenyataan pahit seperti kudeta, pelarangan, pembubaran, bahkan pembantaian, bukan hal baru dalam sejarah gerakan Islam. Itu semua bukan hal yang kami harapkan, tetapi kami harus siap menghadapinya — sebagaimana umat Islam terdahulu tetap bertahan dalam situasi yang jauh lebih sulit.

Syaikh Ramadhan al-Buthi pernah berkata:

“Ketika cahaya Islam memancar dari bilik Makkah, seluruh makhluk dapat melihat Islam pada diri Muhammad ﷺ. Setelah beliau wafat, nilai-nilai Islam terbagi ke dalam pribadi para sahabat. Ketika para sahabat meninggal, Islam diwakili oleh para ulama dan madzhab. Dan ketika Islam telah menyebar ke seluruh dunia, sementara khilafah telah runtuh, maka nilai-nilai Islam dibawa oleh jamaah-jamaah dakwah. Masing-masing saling melengkapi, karena Islam terlalu besar, sedangkan kantong-kantong dakwah terlalu kecil.”

KAMMI hanyalah satu kantong kecil dari perjuangan umat ini. Ia bukan segalanya. Namun, ia adalah tempat para kader menimba ruh perjuangan.

Islam dijamin oleh Allah akan kekal. Tapi untuk bertahan dan menyebar, Islam butuh pengemban. Dan ruh jihad — dalam bentuk militansi, komitmen, dan kesungguhan — adalah kunci bagi setiap pengemban dakwah.

Jadi, meskipun KAMMI tidak lagi ada, kadernya tetap akan berdiri tegak. Sebab, ia bukan hanya duta organisasi, tetapi pejuang Islam. Ia tetap akan bangga menjadi Muslim, menjadi negarawan, dan menjadi pengemban dakwah Islam — di manapun ia berada.

Oleh : Ahmad Amrin Nafis (Ketua Umum KAMMI Komisariat LIPIA 2016/2017)

Disadur dari artikel KAMMI LIPIA yang dirilis pada Juli 2016

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top