Tabula Rasa

Kumpulkan beberapa orang dalam satu tempat untuk menyampaikan pandangan, ide, serta gagasan, maka akan kita temui banyak perbedaan pemahaman, misinterpretasi, bahkan silang pendapat. Sebagian menyampaikan pandangan, dan sebagian yang lain sibuk memberi saran—menimbang argumen mana yang lebih dekat kepada kebenaran atau setidaknya paling jauh dari unsur kesalahan.

Dua komponen utama saat manusia menyampaikan pandangan adalah ilmu pengetahuan dan pengalaman. Sejauh mana ilmu yang telah dimiliki memengaruhi manusia dalam berpandangan, dan sebanyak apa pengalaman memberi pelajaran terhadap realitas yang lebih hakiki daripada sekadar teori berteori.

Alangkah bijaknya jika setiap manusia memahami bahwa manusia memiliki dasar pemahaman, kemampuan ilmu pengetahuan, dan serangkaian pengalaman yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Jika kesadaran ini hadir, tentu akan jarang kita dapati perdebatan panjang tanpa jalan keluar.

Serangkaian komponen tersebut juga dipengaruhi oleh faktor perjalanan hidup, sejak bagaimana ia dilahirkan, pola pendidikan yang ia dapatkan, lingkungan tempat ia dibesarkan, hingga ilmu pengetahuan yang ia terapkan dalam kehidupan.

Teori Tabula Rasa: Pandangan John Locke

Sejalan dengan itu, seorang filsuf era modern Inggris, John Locke (1632–1704 M), menjadi populer dengan teori yang dibawanya: Tabula Rasa.

Teori ini menyatakan bahwa manusia lahir dalam keadaan tanpa membawa pengetahuan dan kemampuan apa pun. Tabula Rasa sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti “kertas kosong”, merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan—dengan kata lain, kosong. Seluruh sumber pengetahuan diperoleh manusia sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi inderawi terhadap dunia luar dirinya.

Umumnya, para pendukung teori ini berpandangan bahwa pengalamanlah yang membentuk kepribadian, kecerdasan, serta perilaku sosial dan emosional. Selain itu, Locke juga menekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri.

Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya. Namun, identitas dasarnya sebagai umat manusia tetap tidak bisa dilepaskan. Pendapat John Locke di atas juga dikenal sebagai bagian dari aliran empirisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa seluruh kecakapan dan pengetahuan manusia timbul dari pengalaman empiris yang masuk melalui alat indera.

Kaum behavioris pun memiliki pendapat yang senada dengan teori Tabula Rasa. Mereka tidak mengakui adanya sifat bawaan atau keturunan. Segala sesuatu, menurut mereka, terbentuk dari pembiasaan serta pengalaman hidup.

Namun, teori ini mendapat tantangan dari para peneliti genetika perilaku yang telah menemukan bukti bahwa hingga taraf tertentu, kemampuan kognitif, sifat, watak kepribadian, kondisi kejiwaan, serta kecerdasan sosial dan emosional seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik.

Keberadaan atau ketiadaan gen tertentu memang tidak secara otomatis menyebabkan perilaku tertentu, tetapi gen lebih berperan dalam mempersiapkan individu untuk merespons lingkungan dengan cara tertentu.

Pandangan Islam tentang Fitrah Manusia

Lantas, bagaimana Islam memandang teori Tabula Rasa ini?

Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Dalam hadis ini disebutkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah. Dalam kamus Lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna “fitrah” sebagai al-ibtida’ wal-ikhtira’ (memulai dan mencipta). Maka, “fitrah” dapat dimaknai sebagai kondisi awal penciptaan, semacam default factory setting, yang telah sesuai dengan desain Ilahi—yakni ajaran tauhid.

Hal ini tentu bertentangan dengan teori Tabula Rasa dan pandangan behaviorisme.

Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Rum: 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), yang sesuai fitrah Allah, disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah; itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

“Fitrah” bukanlah “kertas kosong”, melainkan suci dan asli. Ia membawa anugerah yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia, yang kemudian berkembang sesuai usaha manusia dalam memeliharanya. Fitrah berasal dari hati yang putih bersih dan digunakan untuk menimbang kebenaran dan kebatilan secara intuitif.

Fitrah ini tidak bisa hilang, tetapi bisa tertutup oleh pengaruh eksternal. Ibarat pelita yang tetap menyala meski cahayanya terhalang. Bahkan seorang penjahat paling keji pun tidak akan rela anaknya menjadi penjahat, karena fitrah dalam dirinya tetap menyala, meskipun samar.

Simak pula persaksian Allah SWT atas jiwa manusia:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ketika itu adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’”
(QS. Al-A‘raf: 172)

Mengembangkan Fitrah Menuju Ma‘rifatullah

Faktor-faktor seperti pendidikan, lingkungan, dan ilmu yang diterapkan akan memengaruhi bagaimana potensi fitrah tersebut berkembang. Arah utamanya adalah untuk mengenal Allah (ma‘rifatullah), menjadi insan yang bertakwa, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

Sekilas, teori Tabula Rasa ala John Locke tampak serupa dengan konsep fitrah dalam Islam. Namun jika ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan mendasar. Teori Tabula Rasa lahir dari pandangan sekuler yang memisahkan antara ilmu pengetahuan dan ketuhanan, sementara konsep fitrah adalah bagian dari desain Ilahi.

Keduanya memang sepakat bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan belum tercemar, tetapi Islam menegaskan bahwa manusia tidak benar-benar kosong. Ia membawa potensi berpikir dan kecenderungan kepada kebaikan, yang disebut fitrah. Potensi ini berkembang seiring pertumbuhan jiwa dan fisik manusia.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Red: Amalina Salsabila (Koordinator Perempuan KAMMI Komisariat LIPIA, 2019-2020)

Ed: Aziz Zulqarnain

(Disadur dari artikel KAMMI LIPIA yang dirilis pada April 2020)

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top